Sabtu, Juni 28, 2008

Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit. Mengapa?

A_11th Sunday OT_St. Odilia Parish
By Tonny Blikon, SS.CC

Dalam bacaan Injil tadi, kita mendengar suatu keprihatinan Yesus yang mendalam: “Tuaian memang banyak, tetapi pekerja sedikit. Karena itu mintalah kepada tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu”

Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa pekerja sedikit? Atau lebih spesifik lagi, mengapa dalam dunia sekarang ini, banyak orang muda yang tidak tertarik menjadi imam, bruder, atau suster?

Ada 3 alasan yang bisa saya kemukan di sini.

Alasan pertama, karena kita tidak melakukan apa yang diminta oleh Yesus: berdoa mohon panggilan. Dalam Injil tadi Yesus katakan: “mintalah kepada tuan yang empunyai tuaian, supaya Ia mengirim pekerja-pekerja untuk tuaian itu”.

Saya mau tanya: berapa di antara kita yang berdoa secara teratur minta supaya para kaum muda kita berani memilih hidup membiara - menjadi suster, pastor, atau bruder?

Kapan terkahir kalinya anda berdoa mohon panggilan hidup membiara?
Kira-kira apa bunyinya?

Dalam bacaan Injil tadi kita dengar: “Ketika Yesus melihat orang banyak, tergeraklah hati-Nya oleh belaskasihan kepada mereka, karena mereka lelah dan terlantar seperti domba yang tidak bergembala”. Yesus minta agar kita pun turut dalam keprihatinannya. Yesus minta kita berdoa kepada Bapa yang empunyai panenan untuk mengirim lebih banyak pekerja. Kita bisa mendukung panggilan hidup membiara melalui doa-doa kita dengan intensi mohon panggilan hidup membiara. Keprihatinan kita pun dapat ditunjukan dengan cara mendukung dana pendidikan dan karya para imam, biarawan dan biarawati.

St. Theresia Avila diangkat oleh gereja untuk menjadi pelindung para misionaris bukan karena dia telah berkeliling dunia mewartakan Yesus tetapi sepanjang hidupnya ia telah berdoa bagi para misionaris di seluruh dunia dan mohon panggilan hidup membiara bagi kaum muda.

Doa kita pun hendaknya jujur dan tulus. Artinya harus didasari atas motivasi yang luhur. Kalau ada yang berdoa seperti ini: “ibu-ibu marilah kita berdoa untuk Romo Tony yang sekarang ini lagi dekat dengan seorang mudika yang namanya Susi biar Tuhan menyadarkan dia, dst…” Bagi saya itu bukan doa tapi gossip. Orang itu sangat pandai membungkus niat busuknya dalam hal-hal yang rohani. Doa semacam itu tidak didasari atas motivasi yang luhur. Kalau memang anda punya keprihatinan yang tulus, bawalah itu di dalam doa-doa pribadimu.

Bapa ibu saudara dan saudariku.
Sekali lagi doa kita hendaknya jujur dan tulus dan didasari atas motivasi yang luhur. Saya berterimakasih kepada begitu banyak orang yang telah mendoakan saya. Pertama kepada ibu saya yang rela menjadi ‘korban’ bagi perjalanan awal panggilan saya.

Juga kepada papa yang rela menyerahkan putra sulungnya untuk bekerja di kebun anggur Tuhan. Saya teringat pesan papa ketika saya ditahbiskan: re lejo re go lok limaga. Pana ma mai glekat Alapsa. Pana suduk en, mo taku nikur si. Pana mulur-mulur, mo taku tue si. (Hari ini saya melepaspergikan engkau untuk mengabdi Tuhan. Maju terus, jangan menoleh. Jejaki jalan lurus. Maju terus, pantang mundur). Terima kasih saya juga kepada oma saya yang sejak saya masuk seminari menengah sampai detik ini, lilin untuk saya tidak pernah padam. Dan masih banyak orang lain yang dengan tulus dan setia mendoakan saya.

Ketika menerima tahbisan imam di Bandung, saya mendapat sebuah kartu ucapan dari Legio Mariae Yunior (anak-anak SMP dan SMU). Dan di dalam kartu itu mereka menulis: Kami tidak pernah mengenal romo ketika masih sebagai frater, tetapi sejak ada berita bahwa romo akan ditahbiskan, kami tak henti-hentinya telah berdoa untuk romo. Inilah doa-doa kami: 1500x doa Bapa Kami, 2000x doa Salam Maria dan 500x doa Kemuliaan. Hanya ini yang bisa kami berikan.

Saya tersentuh ketika membaca tulisan itu. Suatu hadiah yang sangat berarti bagi saya. Beberapa minggu lalu, saya memberikan kepada Legio Mariae yunior sebuah doa untuk seorang imam. Saya telah meminta dengan rendah hati agar mereka doakannya selama bulan Juni dan mungkin akan seterusnya.

Alasan kedua, mengapa zaman ini banyak orang tidak tertarik menjadi suster, pastor atau bruder – sangat terkait erat dengan keluarga. Banyak keluarga zaman ini tidak menjadi tempat yang baik untuk menumbuhkan benih panggilan dalam diri anak. Keluarga adalah “seminari kecil” tempat anak mengalami dan merasakan panggilan Tuhan. Kehidupan doa yang teratur secara bersama-sama bisa menjadi sarana yang baik untuk menumbukan minat anak pada hal-hal yang rohani. Kalau tidak ada kebiasaan semacam ini maka, kelak jika anak diminta untuk masuk seminari maka ia pasti tidak mau karena dia tidak pernah mengalami Tuhan. Pendek kata, dia tidak tertarik pada hal-hal yang rohani.

Sebagai orang tua, apakah anda pernah mengutarakan kepada anakmu untuk menjadi suster, bruder atau pastor? Kalau pernah kapan terakhir kalinya anda katakan itu?

Ada sebuah keluarga yang patut kita contoi. Di dalam rumah ada ruang doa dan ada kebiasaan doa secara teratur. Bapa-ibu dan dua orang anak, masing-masing mempunyai lilin dengan warna berbeda. Bapa: putih. Ibu: kuning. Anak pertama: merah. Sedangkan yang bungsu, lilinnya berwarna pink.

Dalam keluarga itu ada aturan mainnya. Kalau sang ayah berdoa, maka dia harus menyalakan lilinnya....begitu pun ibu dan anak-anak. Pada akhir bulan, mereka mengevaluasi siapa yang paling banyak berdoa. Orang yang lilinnya paling pendek jelas adalah orang yang paling banyak berdoa.

Sang ibu pernah merasa malu ketika si bungsu mengatakan bahwa dia malas berdoa. Juga pada suatu kesempatan, sang ibu sampai meneteskan air mata ketika si bungsu berdoa bagi kesembuhan ibunya yang pada waktu itu lagi sakit. Doanya begitu polos dan sederhana. Dan ternyata Tuhan mendengarkan. Keesokan harinya ibu itu sembuh.

Alasan ketiga, mengapa zaman ini banyak orang tidak tertarik menjadi biarawan-biarawati adalah sesuatu yang menyangkut diri kita masing-masing secara pribadi. Apakah kita pernah membuka diri bagi kemungkinan panggilan itu bertumbuh di dalam dirimu?

Pada waktu misa perdana di rumah saya, ada kelompok anak TK yang memainkan sebuah fragmen mini tentang panggilan hidup. Banyak actor kehidupan yang ditampilkan. Ada petani, pedagang, pengusaha, guru dll. Pada suatu adegan….seorang guru menganjurkan anak didiknya untuk menjadi suster…… tetapi anak itu dengan ketus menjawab TIDAK MAU. Apa alasannya, tanya guru tadi. Dan anak itu menjawab: Suster artinya SUSAH TERUS. Serentak semua orang tertawa.

Ketika merenungkan bacaan Injil hari ini, saya teringat akan fragmen tersebut. Saya hanya berkata: pantas tidak banyak lagi orang yang tertarik menjadi biarawan-biarawati.

Siapa di antara putra-putri Altar ini yang ingin jadi imam, bruder atau suster?

Saya mengajak anda untuk merenungkan ini.

Tangan-Tangan Mengagumkan Seorang Imam

Kita membutuhkannya di awal kehidupan,
kita membutuhkannya lagi di akhir kehidupan.

Kita merasakan kehangatan jabatan kasihnya,
kita mencarinya lagi kala tertimpa kemalangan hidup.

Di altar, setiap hari kita memandangnya,
tangan-tangan seorang raja di atas tahtanya tak setara dengan tangan-tangan imam dalam keagungannya; martabat mereka melampaui segalanya.

Dan kala kita dicobai dan menyimpang ke jalan dosa dan cemar, tangan-tangan imamlah yang akan membebaskan kita - tak hanya sekali, melainkan lagi dan lagi.

Dan kala kita menentukan pasangan hidup,
tangan-tangan yang lain mempersiapkan pesta bagi kita, tetapi tangan-tangan yang akan memberkati serta mempersatukan kita adalah tangan-tangan mengagumkan seorang imam.

Bilamanakah seorang pendosa yang malang dapat melakukan lebih baik dari meminta tangan-tangan imam untuk membimbing dan memberkatinya?

Kala ajal menyongsong kiranya semangat dan kekuatan kita diteguhkan dengan memandang dan merasakan urapan di tubuh kita oleh tangan-tangan mengagumkan seorang imam! Anonim

Saudara dan saudariku...
Bacaan Injil hari ini merupakan suatu tantangan bagi kita. Saya hanya mengajak kita untuk menghadapi tantangan itu. Caranya: mulailah dengan kehidupan doa yang rutin di dalam keluarga….anak-anak diajak berdoa mohon panggilan hidup membiara. Inilah cara yang paling baik untuk membangkitkan minat anak terhadap panggilan hidup membiara. Semoga.